Kamis, 22 Mei 2014

Sedikit Tentang Bapak

           Aku selalu bercerita tentang ibuku kemanapun aku pergi. Sosok wanita yang melahirkanku, membesarkanku, dan melindungiku. Ibuku yang tegas, namn perasa.  Ibuku yang bekerja keras demi keluarga, ibuku yang suka memasak, ibuku yang cantik, ibuku yang disukai banyak orang. namun ada satu lagi orang yang kusayang melebihi apapun, namun jarang ku ceritakan. Dia adalah bapakku.  Bapak, orang yang seakan menjadi nomor dua dalam kehidupanku. 

           Bapakku sosok yang suka bercerita. Kami bisa menghabiskan waktu semalam suntuk hanya berdua di ruang tamu atau di depan  tv/ Kami bercerita, bertukar fikiran, atau hanya sekedar ngobrol-nobrol ringan. Bapakku yang punya banyak cerita, cerita masa lalunya, harapannya, prinsipnya, dan ban yak hal tentangnya. Mungkin secara kasat mata orang akan menilaiku sebagai anak yang sangat dekat dengan ibu dibanding bapak. Padahal banyak hal yang ada difikiranku tentang bapakku, namun mungkin aku cuma tidak tau bagaimana cara mengungkapkannya.

           Terkadang ada hal yang tidak bisa ku ceritakan pada bapak, mungkin karena aku anak perempuan  bapak yang harus terlihat hebat dan kuat. Ketika sebagian  orang bercerita tentang betapa mereka dimanja bapak mereka, dilindungi, disayang, dan dibela, berbeda denganku. Bapak tidak selalu menunjukkan betapa sayangnya dia padaku, bapak tidak pernah bertanya hal pribaiku, namun diam-diam dia peduli. Aku tau itu, bapak banyak bertanya tentangku pada ibu. Ketika gadis-gadis lain digendong bapak mereka saat umur 5 tahun, berbeda denganku. Bapak akan sangat marah jika aku nakal, ya, aku memang nakal, bapak juga terkadang ku pikir tidak memperlakukanku seperti anak perempuan yang manis. Namun apa yang telah bapak lakukan membuatku menjadi perepuan berani. Meskipun fisikku tidak kuat, aku sering menangis, dan aku perempuan, aku berani dengan siapapun. Aku tidak takut kepada anak laki-laki berbadan sebesar apapun, aku tidak takut dimarahi siapapun. Bapak membuatku ingin selalu terlihat kuat. Bapak yang mengajariku berani, walaupun aku bukan atlet karate atau tae kwon do sabuk hitam, aku tidak akan takut jika aku tidak merasa salah. 

           Aku masih ingat saat bapak megajarkanku pulang sekolah dengan berjalan kaki ke pasar, ke toko bapak saat aku kelas 1 atau 2 SD. Mungkin itu biasa bagi sebagian orang, tapi waktu itu aku harus berjalan ke sekolah yang menurutku lumyan jauh, seorang diri. Tak ada teman yang membarengiku pulang. Sampai pasar aku diajarkannya minta uang ke toko bapak, disana ada Om Rusydi yang menjaga toko. Setelah itu Om Rusydi akan memanggilkan ojek untukku. Lalu aku akan diantar ojek sampai rumah.

           Pernah suatu ketika aku salah jalan saat pulang sekolah. Aku yang terbiasa lewat depan sekolah, saat itu lewat belakang. Maka yang harusnya aku belok kiri lalu kiri lagi, salah arah dan belok kanan. Aku berjalan cukup jauh waktu itu. Aku yang mungkin masih sangat lugu hanya berfikir, kenapa bisa ada kilang minyak di perjalanan ke pasar? kenapa jalannya menanjak? kenapa makin panas? dan kenapa tidak sampai-sampai? Setelah itu aku balik arah, dan kembali melewati jalan kearah sekolah. Aku terus berjalan kembali sampai aku tiba di depan sekolahku, saat itu aku tertawa, aku menyadari kalau ternyata aku salah arah. 

           Sesampainya di pasar, matahari sedikit mulai turun, ku lihat bapak ditoko merokok sambil ngobrol dengan Om Rusydi. Mereka terlihat lega saat melihatku. Bapak bertanya aku darimana saja, aku lalu menceritakan pengalamanku hari itu, semuanya. Bapak tertawa, bapak memujiku hebat. Aku sangat bangga saat itu. Rasanya aku seperti anak paling berani di dunia. 

           Banyak yang membuatku rindu akan bapak, saat-saat bapak menceramahiku,saat-saat bapak membanggakanku. Bapak selalu berusaha ,elakukan yang terbaik untuk anak-anaknua. Lama sudah aku tidak tinggal dengan bapak, mungkin aku bukan lagi gadis pintar yang bapak banggakan dulu. Aku sudah banyak mengecewakan bapak. Ada kalanya ibu bercerita saat bapak mengkhawatirkanku, ada apa dengan kehidupanku, dengan studiku, denganku. Bapak tidak berani bertanya padaku langsung, katanya. Padahal sebenarnya aku pun tidak berani dan tidak tau bagaimana cara bercerita tentang masalah pribadiku pada bapak. 

           Bapak, aku mungkin hanya berani menulis tanpa menceritakannya pada bapak. Tapi suatu saat ketika bapak telah bisa kembali bangga padaku, aku mungkin bisa lebih terbuka. Saat ketika aku kembali bersama bapak, dan jadi gadis bapak yang berani lagi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar